Transplantasi
organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh
atau sebagian organ
dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain
pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang
rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi
dari donor. Donor organ dapat merupakan orang
yang masih hidup ataupun telah meninggal.
Penggunaan
organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan
hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu,
menurutnya, dalam keadaan darurat organ tubuh mayat boleh dimanfaatkan untuk
pengobatan. Akan tetapi, pemanfaatan organ tubuh mayat manusia sebagai obat
tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Pengobatan tidak bisa dilakukan, kecuali
dengan organ tubuh mayat manusia; - Manusia yang diobati itu adalah orang yang
haram darahnya (seorang muslim yang memelihara kehormatannya); apabila jiwa
yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seseorang
yang telah melakukan pembunuhan dan akan dikenakan hukuman kisas, atau
seseorang yang akan dikenai hukuman rajam karena berbuat zina), maka
pemanfaatan organ tubuh mayat tidak dibolehkan baginya; - Penggunaan organ
tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat; dan penggunaan organ tubuh
mayat manusia itu mendapatkan izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau
dari ahli warisnya (setelah ia wafat).
Kalangan ulama mazhab juga sependapat untuk
tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manusia yang dalam keadaan koma
atau hampir meninggal (tipe kedua). Sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut
sangat kecil, ia harus dihormati sebagai manusia sempurna. Dalam kaitan dengan
ini, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M-1252 H/1836
M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia yang
masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena
kaidah fikih menyatakan: “suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat
lainnya.” Pernyataan senada juga muncul dari Ibnu Qudamah, tokoh fikih Mazhab
Hanbali, dan Imam an-Nawawi, tokoh fikih Mazhab Syafi’i. Akan tetapi, para
ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobatan
dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, seperti orang yang dikisas,
dirajam karena berbuat zina, atau murtad. Jumhur ulama Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut telah
dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk
pengobatan, walaupun dalam keadaan darurat. Sebaliknya, ulama Mazhab Syafi’i
dan Mazhab Hanbali berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang
yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang
lain, dengan syarat bahwa pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia
wafat.
Dalam kaitan dengan ini, menurut Abu Hasan Ali
asy-Syazili, tidak ada salahnya apabila dokter melakukan pemeriksaan organ
tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga pengambilan
organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut
harus diawasi oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter
spesialis.
Memperjualbelikan dan Menyumbangkan Organ
Tubuh.
Persoalan lain yang menyangkut transplantasi
organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh kepada orang yang
memerlukannya. Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para
ulama fikih yang tidak membolehkan seseorang memperjualbelikan organ tubuhnya
karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap mencelakakan diri
sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah
(2) ayat 195 tersebut di atas. Jamaluddin Abu Muhammad
Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila’i (w. 762
H/1360 M), tokoh fikih Mazhab Hanafi dalam kitab fikihnya, Path
al-Qadir, menyatakan bahwa ulama Mazhab Hanafi sepakat menyatakan
bahwa tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia. Pernyataan senada juga
muncul dari Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam
Badruddin az-Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi’i, dan Ibnu
Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali. Organ tubuh manusia, menurut mereka,
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena
masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu
sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan
memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan
oleh syarak.
Pendapat senada juga dikemukakan ulama Mazhab
az-Zahiri. Menurut mereka, seluruh benda yang haram dimakan, haram pula
diperjualbelikan. Pembahasan tentang menyumbangkan organ tubuh manusia
untuk kepentingan pengobatan orang lain dimulai oleh para ulama fikih
berdasarkan dua kaidah populer: (1) setiap yang boleh diperjualbelikan, boleh
disumbangkan; dan (2) orang yang tidak memiliki hak untuk bertindak hukum pada
suatu benda, tidak boleh memberi izin (memanfaatkan benda itu) kepada orang
lain. Kaidah pertama menunjukkan bahwa setiap benda yang boleh diperjualbelikan
boleh pula disumbangkan. Dalam pembahasan di atas, seluruh ulama fikih
menyatakan bahwa organ tubuh manusia tidak boleh diperjualbelikan. Berdasarkan
kaidah kedua, menurut para ulama fikih, seseorang tidak memiliki hak bertindak
hukum.
Sebuah berita mengejutkan
muncul pada 5 Maret 2006 lalu. Koran mingguan milik group media Chang Chun
Daily “Cinema TV Library†dengan berani menurunkan
artikel berjudul “China menjadi pusat transplantasi duniaâ€. Artikel yang ditulis oleh Zhan Yan Hui ini mencantumkan
sub-judul “Puluhan ribu pasien luar negeri menyerbu China untuk melakukan
cangkok organ, yang sumbernya kebanyakan dari terpidana matiâ€.
Disebutkan, saat ini Orient Organ Transplant Center di kota Tianjin, China merupakan pusat transplantasi organ tubuh manusia yang terbesar di dunia. Kepala pengelola rumah sakit Lilian kepada wartawan mengatakan bahwa sejak tahun 2002, rumah sakit tersebut mulai menerima pasien dari Korea dalam jumlah besar, akibatnya prasarana rumah sakit harus dibenahi. Lantai 4 sampai 7 gedung dikhususkan untuk pasien cangkok organ, ditambah lantai 8 gedung operasi radio vascular, masih ditambah lantai 24-25 hotel-hotel di sekitar rumah sakit dipinjam sebagai ruang penampung. Itu pun masih tetap kekurangan kamar, sehingga pihak rumah sakit memutuskan untuk menambah 500 kamar, yang akan siap pakai dalam bulan Mei 2006 ini.
Jika saja sebuah rumah sakit dapat menampung sekian banyak pasien dari seluruh dunia, berapakah daya tampung pasien cangkok yang sesungguhnya di China? Sebuah harian Korea memberitakan, hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Study transplantasi Korea Utara melaporkan, tahun 1999 pasien asal Korea yang melakukan pencangkokan organ ke China berjumlah 2 orang, tahun 2000 hanya 1 orang, dan tahun 2001 meningkat sebanyak 4 orang.
Sejak 2002, jumlah pasien meningkat drastis. Berdasarkan keterangan pengurus sebuah pusat transplantasi di Beijing, jumlah pasien asal korea yang datang ke rumah sakit di Tianjin, Beijing, Shanghai, dan Hangzhou setiap bulannya mencapai 70-80 orang. Jika itu termasuk rumah sakit berskala menengah dan kecil, jumlah tersebut mencapai 1000 orang dalam setahun! Jumlah itu belum termasuk yang berasal dari Jepang, India, Malaysia, Indonesia, Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Amerika, Canada Hong Kong, Macao, Taiwan dan sekitar 20 negara lainnya. Dari data tersebut, tidak diragukan lagi bahwa China kini memang menjadi negara pusat penjual organ manusia terbesar di dunia sejak 2002.
Tingginya Tingkat Operasi Bukti “Stock Organ†Berlimpah
Diungkapkan juga hingga 2004, Orient Organ Transplant Center telah menyelesaikan sebanyak 1.500 kasus transplantasi, di antaranya 800 kasus cangkok ginjal. Pada 2004, hanya dalam setahun melakukan 900 kasus cangkok ginjal dan lever. Akhir 2005, kepala pusat Orient Organ Transplant Center Shen Zhong Yang mengakui telah melakukan sebanyak 650 kasus operasi. Lebih mengherankan lagi, hingga 16 Desember 2005, data yang ada menunjukan sebanyak 597 kasus, tetapi hingga 30 Desember 2005, jumlahnya berubah menjadi 650 kasus, yang itu berarti ada penambahan 53 kasus dalam waktu dua minggu.
Data tersebut hanya merupakan jumlah dari sebuah pusat transplantasi di antara sekian banyak pusat sejenis yang tersebar di China. Kita tidak tahu jumlah sebenarnya ada berapa banyak pusat pencangkokan sejenis di seluruh negeri tirai bambu itu.
Untuk mengetahui legalitas dari organ yang diperjual belikan secara besar-besaran itu sebenarnya mudah saja. Tinggal mencocokkan data yang diperoleh dari pengadilan dan departemen perhubungan, tahun dan bulan, berapa banyak dan kapan dilaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati yang sudah dijalani. Jika itu korban kecelakaan lalu lintas juga ada data lengkap nama dan usia, serta bukti persetujuan jual-beli atau donasi organ tubuhnya dari pihak keluarga korban.
Tetapi banyak kesaksian keluarga pasien yang mengatakan, organ manusia bisa didapatkan dalam waktu sangat singkat. Hanya perlu 1 atau 2 hari saja, padahal semua tahu, untuk mendapatkan organ yang cocok dengan tubuh calon penerima tidaklah semudah memilih pakaian jadi. Jika “stock†tidak benar-benar banyak, tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu sesingkat itu. Kesimpulannya, persedian organ “segar†bukan hanya banyak, tetapi “melimpahâ€, sepertinya bukan lagi si pasien yang menunggu organ, tetapi sebaliknya, sebenarnya organ-organ itu yang menunggu kedatangan pasien yang hendak operasi transplantasi.
Pasien yang menjalani operasi transplantasi pun sudah tidak mmpertimbangkan efek dari pencangkokan itu. Seorang ahli psychology dari Arizona State University Gary Schwartz dalam penyelidikannya selama lebih dari 20 tahun, mengatakan lebih dari 70 kasus yang ditanganinya menunjukkan adanya efek akibat transplantasi. Yakni sifat orang penerima cangkok akan berubah sesuai karakter si pendonor, bahkan sampai kepada ingatannya. Banyak kasus membuktikan, orang yang berubah sifat dan wataknya setelah menerima cangkok ginjal, lever dan jantung. Pernahkah membayangkan bagaimana jika mendapatkan donor dari seorang pembunuh?
Fakta Sebenarnya Sumber Organ
Amnesti Internasional mengklaim, negara China dalam setahun mengeksekusi 5000 orang atau lebih terpidana mati, yang kebanyakan diambil organ tubuhnya tanpa sepengetahuan keluarga setelah hukuman mati dijalankan, kemudian dijual kepada pasien dengan harga sangat tinggi. Wakil Menteri Kesehatan China Jie Fuhuang mengakui, organ tubuh yang diperjual belikan saat ini, 95% didapatkan dari tubuh terpidana mati. Hal ini merupakan pengakuan resmi pertama kalinya yang keluar dari pemerintah komunis di China, sekaligus menunjukan adanya kolusi antara pengusaha, rumah sakit dan pemerintah sekaligus yang mensahkan perdagangan organ tubuh.
Timbul pertanyaan dalam benak setiap orang, mengapa bisnis jual beli organ di China baru marak beberapa tahun belakangan ini? Jika memang setiap tahun ada 5000 orang dieksekusi mati, mengapa organ “melimpah†dimulai pada 2002, dan perdagangan organ manusia maraknya juga di tahun 2002? Pertanyaan lainnya adalah, banyak tim medis dari China yang ke luar negeri mempromosikan dan mencari pasien, serta menjamin organ selalu dalam keadaan “segarâ€. Angka 5000 sudah tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan pasien yang berdatangan dari seluruh dunia, jadi berapa sebenarnya “stock segar†organ yang ada di pasaran?
Seorang wartawan Jepang asal China belum lama ini mengungkapkan, adanya kamp konsentrasi Sujiatun di kota Shenyang, Lioning. Dalam kamp ini dikumpulkan sebanyak 6000 praktisi Falun Gong, mereka disiksa hingga tak berdaya, dan diambil semua organ tubuh dalam keadaan masih hidup sekarat, kemudian mayat langsung dikremasi. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan pihak keluarga korban, tujuannya untuk menghilangkan bukti.
Fakta tersebut dibenarkan oleh World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG). Disebutkan praktek perdagangan organ tubuh manusia hidup secara illegal tersebut sudah berjalan sejak 2001, puncaknya pada 2002, yang dikoordinir dan mendapat izin langsung dari pemerintahan pusat. Karena kekejamannya, banyak anggota tim medis yang tidak tahan, diantaranya dengan cara mengundurkan diri dan pindah ke negara demokrasi, ada yang menjadi depresi, stress, mimpi buruk bahkan nekad bunuh diri karena perasaan bersalah yang mendalam.
Sudah pasti kepastian angka korban yang organ tubuhnya dijual akan terkuak seiring dengan terungkapnya informasi rahasia yang bakal bermunculan di kemudian hari. Dan ini merupakan bukti kejahatan yang dilakukan oleh Partai Komunis China yang sekaligus menyeret pemerintahan yang dikuasainya menjadi penjahat internasional.
Disebutkan, saat ini Orient Organ Transplant Center di kota Tianjin, China merupakan pusat transplantasi organ tubuh manusia yang terbesar di dunia. Kepala pengelola rumah sakit Lilian kepada wartawan mengatakan bahwa sejak tahun 2002, rumah sakit tersebut mulai menerima pasien dari Korea dalam jumlah besar, akibatnya prasarana rumah sakit harus dibenahi. Lantai 4 sampai 7 gedung dikhususkan untuk pasien cangkok organ, ditambah lantai 8 gedung operasi radio vascular, masih ditambah lantai 24-25 hotel-hotel di sekitar rumah sakit dipinjam sebagai ruang penampung. Itu pun masih tetap kekurangan kamar, sehingga pihak rumah sakit memutuskan untuk menambah 500 kamar, yang akan siap pakai dalam bulan Mei 2006 ini.
Jika saja sebuah rumah sakit dapat menampung sekian banyak pasien dari seluruh dunia, berapakah daya tampung pasien cangkok yang sesungguhnya di China? Sebuah harian Korea memberitakan, hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Study transplantasi Korea Utara melaporkan, tahun 1999 pasien asal Korea yang melakukan pencangkokan organ ke China berjumlah 2 orang, tahun 2000 hanya 1 orang, dan tahun 2001 meningkat sebanyak 4 orang.
Sejak 2002, jumlah pasien meningkat drastis. Berdasarkan keterangan pengurus sebuah pusat transplantasi di Beijing, jumlah pasien asal korea yang datang ke rumah sakit di Tianjin, Beijing, Shanghai, dan Hangzhou setiap bulannya mencapai 70-80 orang. Jika itu termasuk rumah sakit berskala menengah dan kecil, jumlah tersebut mencapai 1000 orang dalam setahun! Jumlah itu belum termasuk yang berasal dari Jepang, India, Malaysia, Indonesia, Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Amerika, Canada Hong Kong, Macao, Taiwan dan sekitar 20 negara lainnya. Dari data tersebut, tidak diragukan lagi bahwa China kini memang menjadi negara pusat penjual organ manusia terbesar di dunia sejak 2002.
Tingginya Tingkat Operasi Bukti “Stock Organ†Berlimpah
Diungkapkan juga hingga 2004, Orient Organ Transplant Center telah menyelesaikan sebanyak 1.500 kasus transplantasi, di antaranya 800 kasus cangkok ginjal. Pada 2004, hanya dalam setahun melakukan 900 kasus cangkok ginjal dan lever. Akhir 2005, kepala pusat Orient Organ Transplant Center Shen Zhong Yang mengakui telah melakukan sebanyak 650 kasus operasi. Lebih mengherankan lagi, hingga 16 Desember 2005, data yang ada menunjukan sebanyak 597 kasus, tetapi hingga 30 Desember 2005, jumlahnya berubah menjadi 650 kasus, yang itu berarti ada penambahan 53 kasus dalam waktu dua minggu.
Data tersebut hanya merupakan jumlah dari sebuah pusat transplantasi di antara sekian banyak pusat sejenis yang tersebar di China. Kita tidak tahu jumlah sebenarnya ada berapa banyak pusat pencangkokan sejenis di seluruh negeri tirai bambu itu.
Untuk mengetahui legalitas dari organ yang diperjual belikan secara besar-besaran itu sebenarnya mudah saja. Tinggal mencocokkan data yang diperoleh dari pengadilan dan departemen perhubungan, tahun dan bulan, berapa banyak dan kapan dilaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati yang sudah dijalani. Jika itu korban kecelakaan lalu lintas juga ada data lengkap nama dan usia, serta bukti persetujuan jual-beli atau donasi organ tubuhnya dari pihak keluarga korban.
Tetapi banyak kesaksian keluarga pasien yang mengatakan, organ manusia bisa didapatkan dalam waktu sangat singkat. Hanya perlu 1 atau 2 hari saja, padahal semua tahu, untuk mendapatkan organ yang cocok dengan tubuh calon penerima tidaklah semudah memilih pakaian jadi. Jika “stock†tidak benar-benar banyak, tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu sesingkat itu. Kesimpulannya, persedian organ “segar†bukan hanya banyak, tetapi “melimpahâ€, sepertinya bukan lagi si pasien yang menunggu organ, tetapi sebaliknya, sebenarnya organ-organ itu yang menunggu kedatangan pasien yang hendak operasi transplantasi.
Pasien yang menjalani operasi transplantasi pun sudah tidak mmpertimbangkan efek dari pencangkokan itu. Seorang ahli psychology dari Arizona State University Gary Schwartz dalam penyelidikannya selama lebih dari 20 tahun, mengatakan lebih dari 70 kasus yang ditanganinya menunjukkan adanya efek akibat transplantasi. Yakni sifat orang penerima cangkok akan berubah sesuai karakter si pendonor, bahkan sampai kepada ingatannya. Banyak kasus membuktikan, orang yang berubah sifat dan wataknya setelah menerima cangkok ginjal, lever dan jantung. Pernahkah membayangkan bagaimana jika mendapatkan donor dari seorang pembunuh?
Fakta Sebenarnya Sumber Organ
Amnesti Internasional mengklaim, negara China dalam setahun mengeksekusi 5000 orang atau lebih terpidana mati, yang kebanyakan diambil organ tubuhnya tanpa sepengetahuan keluarga setelah hukuman mati dijalankan, kemudian dijual kepada pasien dengan harga sangat tinggi. Wakil Menteri Kesehatan China Jie Fuhuang mengakui, organ tubuh yang diperjual belikan saat ini, 95% didapatkan dari tubuh terpidana mati. Hal ini merupakan pengakuan resmi pertama kalinya yang keluar dari pemerintah komunis di China, sekaligus menunjukan adanya kolusi antara pengusaha, rumah sakit dan pemerintah sekaligus yang mensahkan perdagangan organ tubuh.
Timbul pertanyaan dalam benak setiap orang, mengapa bisnis jual beli organ di China baru marak beberapa tahun belakangan ini? Jika memang setiap tahun ada 5000 orang dieksekusi mati, mengapa organ “melimpah†dimulai pada 2002, dan perdagangan organ manusia maraknya juga di tahun 2002? Pertanyaan lainnya adalah, banyak tim medis dari China yang ke luar negeri mempromosikan dan mencari pasien, serta menjamin organ selalu dalam keadaan “segarâ€. Angka 5000 sudah tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan pasien yang berdatangan dari seluruh dunia, jadi berapa sebenarnya “stock segar†organ yang ada di pasaran?
Seorang wartawan Jepang asal China belum lama ini mengungkapkan, adanya kamp konsentrasi Sujiatun di kota Shenyang, Lioning. Dalam kamp ini dikumpulkan sebanyak 6000 praktisi Falun Gong, mereka disiksa hingga tak berdaya, dan diambil semua organ tubuh dalam keadaan masih hidup sekarat, kemudian mayat langsung dikremasi. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan pihak keluarga korban, tujuannya untuk menghilangkan bukti.
Fakta tersebut dibenarkan oleh World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG). Disebutkan praktek perdagangan organ tubuh manusia hidup secara illegal tersebut sudah berjalan sejak 2001, puncaknya pada 2002, yang dikoordinir dan mendapat izin langsung dari pemerintahan pusat. Karena kekejamannya, banyak anggota tim medis yang tidak tahan, diantaranya dengan cara mengundurkan diri dan pindah ke negara demokrasi, ada yang menjadi depresi, stress, mimpi buruk bahkan nekad bunuh diri karena perasaan bersalah yang mendalam.
Sudah pasti kepastian angka korban yang organ tubuhnya dijual akan terkuak seiring dengan terungkapnya informasi rahasia yang bakal bermunculan di kemudian hari. Dan ini merupakan bukti kejahatan yang dilakukan oleh Partai Komunis China yang sekaligus menyeret pemerintahan yang dikuasainya menjadi penjahat internasional.
Seluruh dunia mengetahui, presiden China Jiang
Zemin telah menindas praktisi Falun Gong sejak 20 Juli 1999, praktisi yang
diculik, ditangkap dan dipenjara tanpa diadili, tidak ada yang tahu persis
berapa jumlahnya. Seiring berjalannya waktu, dengan kegigihan dan belas kasih
yang ditunjukkan oleh praktisi Falun Gong di seluruh dunia, yang menceritakan
fakta sebenarnya kepada semua lapisan masyarakat dan pemerintahan, perlahan
tapi pasti, simpati telah bermunculan di setiap negara.
Pada 18 Desember 2004, diterbitkan serangkaian editorial “9 Komentar Mengenai Partai Komunisâ€, dan Januari 2005 ke luar pernyataan dari pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi yang memvonis mati PKC, karena kejahatannya yang sudah tak terampuni. Dihimbau juga kepada rakyat China untuk meninggalkan partai komunis China secepat mungkin, serta ditunjukan aib yang akan menimpa orang-orang yang menaruh harapan pada partai yang telah dikutuk oleh langit itu. Kini, sudah 9 juta anggota PKC telah mengundurkan diri secara massal, melepaska diri dari belenggu kejahatan partai yang haus darah tersebut.
Lepas dari masih banyaknya orang yang tidak percaya akan kebenaran kutukan tersebut, kejadian yang terungkap diatas menunjukan adanya ketakutan yang amat sangat dari petinggi PKC untuk menghilangkan jejak bukti yang dapat dijadikan sebagai dakwaan hukum. Kenyataannya, para tim medis China telah menyebar kemana-mana termasuk ke Indonesia, mencari calon penerima donor organ, setiap calon penerima bisa mendapatkan organ dalam keadaan “SEGARâ€. Hal itu merupakan bukti kuat dari adanya ketakutan rejim komunis sehingga merasa perlu melenyapkan bukti-bukti dalam waktu singkat sekaligus mendapatkan devisa.
Pada 18 Desember 2004, diterbitkan serangkaian editorial “9 Komentar Mengenai Partai Komunisâ€, dan Januari 2005 ke luar pernyataan dari pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi yang memvonis mati PKC, karena kejahatannya yang sudah tak terampuni. Dihimbau juga kepada rakyat China untuk meninggalkan partai komunis China secepat mungkin, serta ditunjukan aib yang akan menimpa orang-orang yang menaruh harapan pada partai yang telah dikutuk oleh langit itu. Kini, sudah 9 juta anggota PKC telah mengundurkan diri secara massal, melepaska diri dari belenggu kejahatan partai yang haus darah tersebut.
Lepas dari masih banyaknya orang yang tidak percaya akan kebenaran kutukan tersebut, kejadian yang terungkap diatas menunjukan adanya ketakutan yang amat sangat dari petinggi PKC untuk menghilangkan jejak bukti yang dapat dijadikan sebagai dakwaan hukum. Kenyataannya, para tim medis China telah menyebar kemana-mana termasuk ke Indonesia, mencari calon penerima donor organ, setiap calon penerima bisa mendapatkan organ dalam keadaan “SEGARâ€. Hal itu merupakan bukti kuat dari adanya ketakutan rejim komunis sehingga merasa perlu melenyapkan bukti-bukti dalam waktu singkat sekaligus mendapatkan devisa.
Mencangkok (transplantasi) organ
dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak
terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai
Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya
sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.
Apabila suatu organ tubuh
dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari
wujud si muslim itu dan menjadi
alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim
yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi
sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu
adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ
tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud
kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kekafiran atau keIslaman
seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya
(organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering
diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.
Namun sebenarnya yang dimaksud di
sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba (ditangkap dengan indra), bukan
yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi. Sebab yang
demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara
yang taat dan yang bermaksiat.
Tetapi yang dimaksud dengan hati
orang kafir di dalam istilah Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya
manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"Lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami "(QS. Al-Hajj: 46)
"Mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) "(QS.
Al-A`raf: 179)
Lalu bagaimana dengan firman
Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik itu najis?
Benar bahwa Allah SWT telah
menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam
Al-Quran:
"Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis" (QS. At-Taubah: 28)
Namun para ulama sepakat
mengatakan bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis
indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan
dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang
muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang
diperlukan.
Sebuah penawaran radikal baru-baru ini
dilontarkan oleh sebuah rumah sakit di New York. Mereka menawarkan alternatif
yang baru pertama kali dilakukan yaitu transplantasi uterus atau rahim pada
wanita. Meski menuai pro dan kontra dari banyak kalangan, namun eksperimen
berani ini dinilai memberikan harapan baru bagi wanita yang mengalami tidak
bisa hamil karena tidak memiliki rahim atau mengalami kerusakan.
Seperti lazimnya operasi transplantasi organ tubuh lain, proses pemindahan rahim ini pun dilakukan dengan cara yang sama dengan mengambil organ dari donor yang sudah meninggal. Namun, setelah berhasil mewujudkan keinginan sang penerima rahim untuk melahirkan dan memiliki anak, organ ini akan diangkat kembali pascakelahiran. Ini dilakukan agar sang penerima tidak harus mengonsumsi obat antipenolakan organ seumur hidupnya.
Meski menuai pro dan kontra, namun tindakan ini telah mendapat persetujuan dari pihak etis rumah sakit yang bersangkutan. Meski begitu, direktur rumah sakit tersebut mengingatkan agar kaum wanita agar tidak terjebak operasi ini. Pasalnya, proses ini diperkirakan belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Bukan hanya itu, para ahli juga mengingatkan bahwa langkah ini masih butuh penelitian lebih lanjut.
Meski begitu, sang dokter kepala yang melakukan langkah ini tetap menyatakan optimismenya. ''Saya percaya secara teknis ini merupakan sesuatu yang bisa diwujudkan,'' ujar Dr Giuseppe Del Priore. Sang dokter yang juga seorang spesialis kanker akan memimpin proyek ini beserta Dr Jeanetta Stega, ahli bedah kandungan di rumah sakit New York Downtown.
Optimisme yang sama juga dilontarkan beberapa ilmuwan yang menyatakan langkah ini sebagai upaya untuk membantu wanita agar bisa memiliki anak lewat rahimnya. ''Jika ini menjadi sebuah keinginan menggebu dari wanita yang kehilangan rahimnya, saya pikir ini merupakan sesuatu yang mereka bisa wujudkan meski risikonya benar-benar harus diperhitungkan,'' ungkap Julia Rowland, direktur National Cancer Institute's Office of Cancer Survivorship.
Pasalnya, operasi tranplantasi rahim pertama yang pernah dilakukan di Arab Saudi pada tahun 2000 berakhir dengan pendarahan hebat sang pasien. Seorang wanita menjalani proses ini dengan mengambil rahim dari donor yang masih hidup. Namun, setelah tiga bulan operasi, rahim yang ditransplantasikan ke tubuh wanita itu harus diangkat kembali akibat pendarahan hebat.
Menghadapi kemungkinan seperti ini, dengan yakin Dr Stega menyatakan bahwa risiko ini bisa diminimalisir dengan melakukan lebih banyak pemindahan pembuluh darah dan penggunaan obat antipendarahan untuk mengurangi risiko.
Meski belum disetujui semua pihak, namun beberapa kandidat sudah menyatakan kesediannya menjadi pasien percobaan dalam tranplantasi ini. Mereka adalah wanita yang lahir tanpa memiliki rahim, yang mengalami gangguan saluran indung telur atau endometriosis, dan juga wanita yang kehilangan rahim akibat tumor yang disebut fibroid.
Pada hewan
Namun, beberapa ilmuwan menyatakan bahwa sebelum melakukannya pada manusia, percobaan ini harus dilakukan pada hewan. Seorang ilmuwan asal Universitas Pittsburgh, Stefan Schlatt menyatakan, masih butuh banyak penelitian untuk mewujudkan hal itu. Ini ia ungkap setelah proses transplantasi yang sama yang dilakukan pada monyet gagal dilakukan.
''Semua ini sangat rumit, dan saya pikir ini belum siap dilakukan dalam waktu dekat,'' ujar Dr James Grifo, ahli kesuburan dari Universita New York. Bahkan, meski menyatakan penelitian ini merupakan sebuah langkah menarik sekaligus menjanjikan, namun pimpinan rumah sakit tempat Del Priore bertugaspun mengingatkan bahwa setiap langkah dalam penelitian ini harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa pasien.
Selain faktor kesuksesan, hal lain yang juga dipertanyakan para ahli adalah persoalan etis. Sebagian ilmuwan mempertanyakan apakah boleh mengambil rahim seseorang kecuali si donor menyatakan persetujuannya sebelum kematiannya.
''Sebelum diberi hak untuk menggunakan organ reproduksinya, apakah si donor tidak memiliki hak untuk mengontrol hal tersebut,'' kata Arthur Caplan, kepala bioetik di Universitas Pennsylvania. Apalagi, katanya, tranplantasi rahim memiliki makna simbolik yang jauh lebih penting daripada tranplantasi pankreas atau hati.
Sementara, ahli bioetik dari Universitas Wisconsin, R Alta Charo mempertanyakan soal resiko keberhasilan operasi ini. ''Ini merupakan sebuah langkah yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal untuk mendapatkan anak sementara ada alternatif lain seperti adopsi dan ibu pengganti masih bisa dilakukan,'' katanya.
Transplantasi organ biasanya dilakukan untuk menyelamatkan nyawa, namun belakangan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Namun langkah ini bukan tanpa risiko, salah satu yang paling fatal adalah komplikasi pada organ tubuh. Belum lagi pasien harus mengonsumsi obat untuk melemahkan imunitas tubuhnya guna mengurangi risiko penolakan tubuh terhadap organ baru.
Proses operasi
Operasinya sendiri berjalan seperti proses transplantasi organ tubuh lainnya. Untuk memindahkan rahim, tim dokter akan menyayat perut pasien sepanjang enam inci (15,24 cm) mulai dari bawah pusar hingga tulang pubis. Untuk itu, penerima organ harus berada dalam keadaan stabil dengan mengonsumsi obat antipenolak organ minimal tiga bulan sebelum kehamilan direncanakan.
Setelah itu, embrio yang sudah dibekukan akan ditransfer ke dalam rahim baru dengan cara normal yaitu melalui vagina. Untuk mengurangi risiko komplikasi dan kegagaglan kehamilan, setelah proses ini pasien diharapkan tidak melakukan hubungan seksual untuk mengurangi potensi risiko.
Jika kehamilan terjadi, bayi yang lahir harus dikeluarkan lewat bedah caesar untuk menghindari risiko. Satu atau dua tahun setelah kelahiran sang bayi lahir atau jika kehamilan yang diharapkan tidak terjadi, rahim ini akan kembali diangkat untuk meminimalisir risiko pemakaian obat anti penolakan organ pada pasien.
Untuk melakukan langkah ini, Del Priore menyatakan biaya yang diperlukan sekitar 500 ribu dolar AS. Ini termasuk biaya perawatan selama dua minggu di rumah sakit. Namun, ia menyebut bahwa biaya ini bisa dibagi bersama pihak rumah sakit, lembaga yang mendanai penelitian kesuburan, pasien, dan ansuransi.
Seperti lazimnya operasi transplantasi organ tubuh lain, proses pemindahan rahim ini pun dilakukan dengan cara yang sama dengan mengambil organ dari donor yang sudah meninggal. Namun, setelah berhasil mewujudkan keinginan sang penerima rahim untuk melahirkan dan memiliki anak, organ ini akan diangkat kembali pascakelahiran. Ini dilakukan agar sang penerima tidak harus mengonsumsi obat antipenolakan organ seumur hidupnya.
Meski menuai pro dan kontra, namun tindakan ini telah mendapat persetujuan dari pihak etis rumah sakit yang bersangkutan. Meski begitu, direktur rumah sakit tersebut mengingatkan agar kaum wanita agar tidak terjebak operasi ini. Pasalnya, proses ini diperkirakan belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Bukan hanya itu, para ahli juga mengingatkan bahwa langkah ini masih butuh penelitian lebih lanjut.
Meski begitu, sang dokter kepala yang melakukan langkah ini tetap menyatakan optimismenya. ''Saya percaya secara teknis ini merupakan sesuatu yang bisa diwujudkan,'' ujar Dr Giuseppe Del Priore. Sang dokter yang juga seorang spesialis kanker akan memimpin proyek ini beserta Dr Jeanetta Stega, ahli bedah kandungan di rumah sakit New York Downtown.
Optimisme yang sama juga dilontarkan beberapa ilmuwan yang menyatakan langkah ini sebagai upaya untuk membantu wanita agar bisa memiliki anak lewat rahimnya. ''Jika ini menjadi sebuah keinginan menggebu dari wanita yang kehilangan rahimnya, saya pikir ini merupakan sesuatu yang mereka bisa wujudkan meski risikonya benar-benar harus diperhitungkan,'' ungkap Julia Rowland, direktur National Cancer Institute's Office of Cancer Survivorship.
Pasalnya, operasi tranplantasi rahim pertama yang pernah dilakukan di Arab Saudi pada tahun 2000 berakhir dengan pendarahan hebat sang pasien. Seorang wanita menjalani proses ini dengan mengambil rahim dari donor yang masih hidup. Namun, setelah tiga bulan operasi, rahim yang ditransplantasikan ke tubuh wanita itu harus diangkat kembali akibat pendarahan hebat.
Menghadapi kemungkinan seperti ini, dengan yakin Dr Stega menyatakan bahwa risiko ini bisa diminimalisir dengan melakukan lebih banyak pemindahan pembuluh darah dan penggunaan obat antipendarahan untuk mengurangi risiko.
Meski belum disetujui semua pihak, namun beberapa kandidat sudah menyatakan kesediannya menjadi pasien percobaan dalam tranplantasi ini. Mereka adalah wanita yang lahir tanpa memiliki rahim, yang mengalami gangguan saluran indung telur atau endometriosis, dan juga wanita yang kehilangan rahim akibat tumor yang disebut fibroid.
Pada hewan
Namun, beberapa ilmuwan menyatakan bahwa sebelum melakukannya pada manusia, percobaan ini harus dilakukan pada hewan. Seorang ilmuwan asal Universitas Pittsburgh, Stefan Schlatt menyatakan, masih butuh banyak penelitian untuk mewujudkan hal itu. Ini ia ungkap setelah proses transplantasi yang sama yang dilakukan pada monyet gagal dilakukan.
''Semua ini sangat rumit, dan saya pikir ini belum siap dilakukan dalam waktu dekat,'' ujar Dr James Grifo, ahli kesuburan dari Universita New York. Bahkan, meski menyatakan penelitian ini merupakan sebuah langkah menarik sekaligus menjanjikan, namun pimpinan rumah sakit tempat Del Priore bertugaspun mengingatkan bahwa setiap langkah dalam penelitian ini harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa pasien.
Selain faktor kesuksesan, hal lain yang juga dipertanyakan para ahli adalah persoalan etis. Sebagian ilmuwan mempertanyakan apakah boleh mengambil rahim seseorang kecuali si donor menyatakan persetujuannya sebelum kematiannya.
''Sebelum diberi hak untuk menggunakan organ reproduksinya, apakah si donor tidak memiliki hak untuk mengontrol hal tersebut,'' kata Arthur Caplan, kepala bioetik di Universitas Pennsylvania. Apalagi, katanya, tranplantasi rahim memiliki makna simbolik yang jauh lebih penting daripada tranplantasi pankreas atau hati.
Sementara, ahli bioetik dari Universitas Wisconsin, R Alta Charo mempertanyakan soal resiko keberhasilan operasi ini. ''Ini merupakan sebuah langkah yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal untuk mendapatkan anak sementara ada alternatif lain seperti adopsi dan ibu pengganti masih bisa dilakukan,'' katanya.
Transplantasi organ biasanya dilakukan untuk menyelamatkan nyawa, namun belakangan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Namun langkah ini bukan tanpa risiko, salah satu yang paling fatal adalah komplikasi pada organ tubuh. Belum lagi pasien harus mengonsumsi obat untuk melemahkan imunitas tubuhnya guna mengurangi risiko penolakan tubuh terhadap organ baru.
Proses operasi
Operasinya sendiri berjalan seperti proses transplantasi organ tubuh lainnya. Untuk memindahkan rahim, tim dokter akan menyayat perut pasien sepanjang enam inci (15,24 cm) mulai dari bawah pusar hingga tulang pubis. Untuk itu, penerima organ harus berada dalam keadaan stabil dengan mengonsumsi obat antipenolak organ minimal tiga bulan sebelum kehamilan direncanakan.
Setelah itu, embrio yang sudah dibekukan akan ditransfer ke dalam rahim baru dengan cara normal yaitu melalui vagina. Untuk mengurangi risiko komplikasi dan kegagaglan kehamilan, setelah proses ini pasien diharapkan tidak melakukan hubungan seksual untuk mengurangi potensi risiko.
Jika kehamilan terjadi, bayi yang lahir harus dikeluarkan lewat bedah caesar untuk menghindari risiko. Satu atau dua tahun setelah kelahiran sang bayi lahir atau jika kehamilan yang diharapkan tidak terjadi, rahim ini akan kembali diangkat untuk meminimalisir risiko pemakaian obat anti penolakan organ pada pasien.
Untuk melakukan langkah ini, Del Priore menyatakan biaya yang diperlukan sekitar 500 ribu dolar AS. Ini termasuk biaya perawatan selama dua minggu di rumah sakit. Namun, ia menyebut bahwa biaya ini bisa dibagi bersama pihak rumah sakit, lembaga yang mendanai penelitian kesuburan, pasien, dan ansuransi.
1. Transplantasi Organ Dari Donor
Yang Masih Hidup :
Syara’ membolehkan seseorang pada
saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk menyumbangkan
sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang
disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal.
Ketentuan itu dikarenakan adanya
hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat
perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang
lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya.
Memaafkan pemotongan tangan atau
pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan
penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti
pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan
diyatnya itu.
Adanya hak milik orang tersebut
terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan
organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbangkan organ tubuhnya
kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT
telah membolehkan memberikan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat.
Allah SWT berfirman :
“Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)
Syarat-Syarat Penyumbangan Organ
Tubuh Bagi Donor Hidup
Syarat bagi kemubahan
menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ
yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelangsungan
hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini
dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak
penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang
tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada
orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh
diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Allah SWT berfirman pula :
“…dan janganlah kalian membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Keharaman membunuh orang yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan
membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh
dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang
tersebut dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menjatuhkan diri
dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke
dalam neraka Jahannam.”
Demikian pula seorang laki-laki
tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan
menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang
pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menyebabkan kemandulan.
Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata :
“Kami dahulu pernah berperang
bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata,
‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang
kami untuk melakukannya.”
Hukum ini dapat diterapkan juga
untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat
penyumbangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam
organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada
perempuan– merupakan substansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran
manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel
penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel
sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan –yakni pabrik
penghasil sel sperma dari sel-selnya– baik testis itu tetap pada pemiliknya
atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain.
Atas dasar itu, maka kromosom
anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang
penyumbang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah
menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak
yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi
sedikitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang
testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak
dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula
menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan
menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu
atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab.
Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan
pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia
mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab
kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat)
kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat,
dan seluruh manusia.”
Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula
dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah
masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah
menghayati sabda Muhammad SAW :
“Siapa saja yang mengaku-ngaku
(sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang
itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”
Demikian pula Islam telah
melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari
kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad
Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW
bersabda tatkala turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang
memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum
itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan
pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari
anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup
darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang
terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”
2. Hukum Transplantasi Dari Donor
Yang Telah Meninggal :
Hukum tranplanstasi organ dari
seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari
seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi
organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum
pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat.
Mengenai hukum pemilikan tubuh
seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut
tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar meninggalnya
seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu
apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia
tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk
menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiatkan penyumbangan organ
tubuhnya.
Berdasarkan hal ini, maka
seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan
tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai
kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di
luar kepemilikannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah)
telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan sebagian hartanya hingga
sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin
ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta
benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup pewasiatan
tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu
organ tubuhnya setelah kematiannya.
Mengenai hak ahli waris, maka
Allah SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya.
Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ
tubuh si mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana
mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat
sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus
sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak
untuk memanfaatkan benda tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit
tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit
lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga
posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa
tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah
meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya.
Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT
telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara
sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran
terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang
hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan
menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama
dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :
“Janganlah kamu menyakiti
penghuni kubur itu !”
Imam Muslim dan Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda :
“Sungguh jika seorang dari kalian
duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya
daripada dia duduk di atas kuburan !”
Hadits-hadits di atas secara
jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup.
Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan
melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh
menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau
mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala
penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram
menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka
demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap mayat.
Hanya saja penganiayaan terhadap
mayat dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak
ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup.
Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap
seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang
itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk
memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah
menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan
tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya
untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya,
untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap
sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam
Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata,
“Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang
(mayat musuh).”
Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan
Imam An Nasai meriwayatkan dari Shafwan bin ‘Asaal RA, dia berkata,”Rasulullah
SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus
Rasulullah), lalu beliau bersabda :
“Majulah kalian dengan nama Allah
dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan
janganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhianatan, dan
membunuh anak-anak !”
Dengan penjelasan fakta hukum
mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka
jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah
organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan
tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan
penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat
dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Keadaan Darurat
Keadaan darurat adalah keadaan di
mana Allah membolehkan seseorang yang terpaksa –yang kehabisan bekal makanan,
dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya
dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan
lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan
salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ?
Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat,
sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh
dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai
hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan orang yang terpaksa –yang
telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk
memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah –seperti
bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia dapat mempertahankan
hidupnya. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya.” (QS. Al Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut
boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat
memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan
makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya
sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh
diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Dari penjelasan di atas, dapatkah
hukum darurat tersebut diterapkan –dengan jalan Qiyas– pada fakta transplantasi
organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna
menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat
penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan
hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasaran Qiyas –yaitu transplantasi
organ– harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber
Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan– baik pada
‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas
sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan
perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak
sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat keumumannya atau
kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah
cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masalah
cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang
ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat
menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru.
Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang
masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya.
Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan
ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu
menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi).
Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi.
Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata,
satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal
yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang
lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan
penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama,
‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) –yaitu menyelamatkan
dan mempertahankan kehidupan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya,
berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa
untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan
menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua
paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan
orang penerima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan
kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada
orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada
masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat
lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang
tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raajih),
yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini
pada masalah cabang –yakni transplantasi organ– telah terdapat nash yang lebih
kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman
melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash
yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat
masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi.
Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ
tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan –seperti jantung,
hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang yang sudah mati yang terpelihara
darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*,
seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** — kepada orang lain yang
kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.
——-*dzimmi adalah orang kafir
warga negara Khilafah Islamiyah.**mu’ahid adalah seseorang warga negara
tertentu yang mempunyai perjanjian dengan Khilafah.***musta’min adalah orang
yang mendapat jaminan keamanan dari Khilafah.
Jawaban dikutip dari :
Abdul Qadim Zallum
Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh,
Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al
Hayah wal Maut
Penerbit : Darul Ummah, Beirut,
Libanon, Cetakan I, 1418/1997, 48 hal.
Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Manusia hidup dalam habitat yang penuh
persaingan maupun simbiosis, baik dengan
makhluk hidup berderajat tinggi lainnya, maupun
dengan makhluk hidup sederhana.
Berbagai jenis jamur misalnya, diketahui
memiliki khasiat medis yang
menguntungkan manusia.
Jamur, sejak berabad-abad dikenal memiliki
fungsi beragam. Dewasa ini, dikenal
lebih dari 100 ribu jenis jamur, dari yang bisa
dimakan dan berharga mahal,
yang menimbulkan penyakit, yang memiliki racun
mematikan sampai yang berfungsi
menguraikan sisa organisme lain. Sejak 30 tahun
lalu, para pakar kedokteran
juga berhasil menemukan sejenis jamur, yang
membantu mereka dalam pencangkokan
organ tubuh.
Seperti diketahui, tubuh manusia memiliki
mekanisme untuk menyerang benda asing
yang masuk ke dalam tubuh. Organ baru yang
dicangkokan dikenali tubuh tergolong
benda asing, yang logikanya harus dimusnahkan.
Sistem kekebalan tubuh dengan
cepat menyerang organ cangkokan. Dalam dunia
kedokteran, mekanisme ini disebut
reaksi penolakan. Untuk mengurangi reaksi
penolakan, para dokter biasanya
memberikan obat yang menekan aktivitas sistem
kekebalan tubuh. Tentu saja
terdapat dampak negatif yang menyertainya,
sebab dengan obat penekan sistem
kekebalan, tubuh yang masih lemah akibat
operasi, seolah-olah dipasrahkan
begitu saja kepada bibit penyakit.
Dilema sistem imunitas
Para dokter ahli bedah, memang menghadapi
pilihan sulit. Jika mekanisme
pertahanan tubuh dibiarkan aktif, akan terjadi
reaksi penolakan yang dapat
berakibat kematian. Namun jika sistem kekebalan
ditekan, berbagai bibit
penyakit akan menyerang. Sejak 30 tahun lalu,
sejenis jamur yang berasal dari
Norwegia yang digunakan menekan kekebalan
tubuh, sehingga mengurangi reaksi
penolakan terhadap organ cangkokan. Unsur aktif
dari jamur yang mampu menekan
aktivitas sistem kekebalan tubuh itu, diberi
nama dagang Ciclosporin. Harus
diakui, penemuan Ciclosporin merupakan revolusi
dalam kedokteran cangkok organ
tubuh. Tanpa penemuan Ciclosporin, mungkin
keberhasilan cangkok organ tidak
setinggi sekarang.
Memang ketika kedokteran cangkok organ tubuh
mulai berkembang di tahun 60-an,
sudah digunakan berbagai obat sintetis untuk
menekan reaksi penolakan. Yang
umum digunakan misalnya Azathioprin, yang
memiliki dampak sampingan menekan
produksi sum-sum tulang belakang dan peracunan
hati. Sering juga dipakai
Corticosteroid, yang memiliki dampak sampingan
amat kompleks, diantaranya
keruhnya lensa mata atau katarak, kerapuhan
tulang dan kematian jaringan otot.
Ciclosporin juga memiliki dampak negatif, namun
lebih mudah diawasi oleh para
dokter. Karenanya, dalam dua dekade terakhir
ini, Ciclosporin merupakan
komponen obat yang paling penting dalam cangkok
organ tubuh.
Agar pasien cangkok organ tubuh tidak diserang
bibit penyakit, para dokter
biasanya memberikan obat antibiotika secara
terarah. Namun, seperti diakui oleh
Prof. Dr.Jan Schmidt kepala bagian cangkok
ginjal dan pankreas di pusat cangkok
organ tubuh di rumah sakit Heidelberg, antara
20 sampai 30 persen pasiennya
pada tahun pertama setelah operasi, tetap saja
terkena infeksi bahkan sebagian
infeksi berat. Dalam kasus infeksi berat, tidak
jarang terjadi kematian.
Artinya, harus dicari komponen atau unsur aktiv
baru, untuk menekan sistem
kekebalan tubuh. Ciclosporin memang masih
ampuh. Namun, jumlah pasien cangkok
organ tubuh, dari tahun ke tahun terus
meningkat. Dengan itu, diperlukan obat
penekan kekebalan tubuh baru yang jauh lebih
aman.
Unsur serangga sekaligus tanaman
Tahun 90-an lalu, para peneliti dari
Universitas Tokyo di Jepang, tertarik pada
laporan pengobatan tradisional Cina, yang
menggunakan apa yang disebut unsur
"serangga di musim dingin-tanaman di musim
panas". Sejak ribuan tahun, unsur
misterius yang juga disebut cacing yang bukan
cacing-tanaman bukan tanaman itu,
diyakini manjur sebagai obat awet muda.
Ternyata yang disebut unsur serangga di
musim dingin-tanaman di musim panas itu, adalah
sejenis jamur yang biasanya
menyerang sejenis lebah. Di musim dingin, jamur
menyerang dari dalam tubuh
hingga datangnya musim panas, ketika lebah
inangnya mati dan tinggal jamurnya.
Jamur bersangkutan, bernama latin Isaria
sinclairii dan mengandung unsur aktiv
Myriocin. Penelitian para pakar di Tokyo
menunjukan, Myriocin memiliki fungsi
menekan kekebalan tubuh sepuluh kali lebih kuat
dari Ciclosporin. Hanya saja,
seperti unsur aktif lainnya, kandungan Myriocin
pada jamur tsb sangat kecil dan
langka. Dewasa ini, para peneliti sudah
berhasil membuat Myriocin secara
sintetis, yang untuk sementara diberi nama
unsur aktiv FTY-720. Yang juga
menarik, Myriocin memiliki mekanisme berbeda
dengan Ciclosporin.
Sejauh ini diketahui, Ciclosporin menekan
sistem kekebalan tubuh, dengan cara
mencegah perkembang biakan sel darah putih atau
bahkan membunuhnya. Dengan
demikian, tubuh pasien penerima organ tubuh,
ibaratnya tidak memiliki lagi
sistem pertahanan tubuh. Myriocin bekerja
dengan cara lain. Unsur aktiv ini
tidak mencegah pembiakan atau membunuh sel
darah putih, tetapi hanya
menyanderanya. Dalam arti, menahan sistem
kekebalan tubuh, agar hanya berkumpul
di kelenjar getah bening dan tidak menyebar.
Akan tetapi sel darah putih tetap
bisa berkembang biak dan aktiv. Jadi setiap
saat tetap siap menghadapi bibit
penyakit.
Mekanisme berbeda
Pengamatan lebih lanjut oleh tim peneliti
Universitas Z?dari pemenang
hadiah Nobel, Prof. Rolf Zinkernagel
menunjukkan, tikus-tikus percobaan yang
mendapat Myriocin turun aktivitas pertahanan
tubuhnya hingga 80 persen. Namun
juga diamati, sedikit sel-sel pertahanan tubuh
yang masih tersisa dalam darah
tetap aktiv. Dengan begitu, tikus-tikus
percobaan, masih tetap memiliki reaksi
pertahanan tubuh terhadap berbagai jenis virus.
Jadi, unsur aktiv baru Myriocin
tidak mematikan sistem kekebalan tubuh,
melainkan mengendalikannya.
Dalam berbagai percobaan, baik pada tikus,
anjing dan monyet yang mendapat
cangkok organ tubuh, Myriocin terbukti mencegah
reaksi penolakan. Juga
percobaan pada beberapa orang yang menjadi
relawan, menunjukan keampuhan unsur
aktiv Myriocin. Unsur ini dapat diterima tubuh
dan tidak beracun, baik pada
jaringan tubuh maupun pada organ cangkokan.
Jika digabung dengan pemberian
Ciclosporin dalam dosis rendah, khasiatnya
menjadi lebih kentara. Dr.Schmidt
dari Heidelberg Jerman melaporkan
pengamatannya, mengenai lebih sedikitnya
dampak sampingan Myriocin. Dewasa ini, beberapa
industri farmasi terkemuka
terus melakukan penelitian, agar unsur aktiv
Myriocin dapat dijadikan obat
standar. Kita memang tidak mau dicangkok organ
tubuh. Tapi jika hal itu tidak
mungkin dihindari, tentu saja kita mengharapkan
cangkok organ yang aman.
Ketika
Para Dokter dan Ahli Agama Berdiskusi tentang Transplantasi Organ (3-Habis)
Perlu Payung hukum untuk Lindungi Para Dokter
Dari sisi skill, dokter Indonesia mestinya mampu melakukan transplantasi. Hanya, ada celah yang dapat membahayakan dokter. Berikut catatan dari diskusi yang diselenggarakan di Graha Pena Jumat lalu (16/11).
---------
Transplantasi organ tubuh bisa dilakukan dengan dua cara. Mengambil organ dari tubuh manusia yang masih hidup dan dari tubuh yang sudah mati. Hanya, definisi mati secara medis dan hukum positif berbeda.
Anggota tim transplantasi Rumah Sakit dr Soetomo dr Tommy Sunartomo SpAn menjelaskan, definisi meninggal dari sisi medis dan hukum positif berbeda. Seseorang dinyatakan meninggal secara medis belum tentu sama jika dilihat secara hukum.
Menurut dia, secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. "Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap," tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan.
Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan. Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. "Waktunya tidak lama, sekitar 30 menit. Tapi, kalau menggunakan mesin respirator, bisa bertahan sampai beberapa hari," tutur Tommy.
Sementara, menurut hukum positif di Indonesia, kematian seseorang dilihat dari detak jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati. Hal tersebut mengacu pada penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Definisi mati, menurut KUHP, sangat tidak sejalan dengan kebutuhan transplantasi. Menurut Prof Dr dr Diany Yogiantoro SpM(K), ahli transplantasi kornea, ketika jantung berhenti berdenyut, seluruh organ tubuh telah mati. Karena itulah, organ tubuhnya tidak bisa ditransplantasikan ke orang lain. "Kala itu, tubuh telah menjadi bangkai. Kecuali kornea mata," jelasnya.
Perbedaan itulah, menurut ahli liver RSU dr Soetomo dr Poernomo Boedi SpPD, yang membahayakan dokter. Dokter bisa dituntut secara hukum karena dianggap melukai atau bahkan membunuh seseorang. Yaitu, ketika dokter mengambil organ tubuh dari tubuh seseorang yang telah dinyatakan mati secara medis, tapi secara hukum, dia belum dianggap mati karena jantungnya masih berfungsi.
Karena itu, transplantasi yang diambilkan dari orang yang dinyatakan mati secara medis (batang otak tak berfungsi) potensial dipersoalkan. Dokter bisa disalahkan dan dijerat hukuman. "Ini akan menjadi mainan bagi pengacara-pengacara," katanya.
Akhirnya, para dokter tidak bisa leluasa dan takut melakukan transplantasi organ tubuh. Sebab, bisa jadi keluarga si mayat tidak terima jika organ pada jasad saudaranya diambil. Ini bisa terjadi kendati sebelumnya pemilik telah merelakan organ tubuhnya didonorkan. "Kasus ini banyak terjadi di Indonesia," kata Boedi.
Karena itulah, lanjut Boedi, dokter membutuhkan regulasi yang mendukung dan memayungi terobosan-terobosan ilmu kedokteran, seperti transplantasi. Menurut dia, peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman seharusnya bisa diubah sehingga tidak membatasi gerak ilmu pengetahuan.
Sementara itu, konsep mati menurut Islam mirip dan bahkan sama dengan konsep mati secara medis. Saad Ibrahim, koordinator Bidang Tajdid dan Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, mengatakan bahwa dalam Islam, dikenal hukuman mati. "Pada masa Islam klasik, disebut dengan pancung," terangnya.
Tekniknya, memenggal kepala si terhukum hingga kepalanya terputus. Ketika kepala terpenggal, otomatis dia dinyatakan mati. Untuk menyatakan mati tidaknya si terhukum, pemenggal kepala tidak melihat apakah jantungnya masih berdetak atau tidak. "Karena parameter mati tidaknya adalah kepala, maka sama dengan mati konsep medis, yaitu matinya batang otak," katanya.
Dari sisi skill, dokter Indonesia mestinya mampu melakukan transplantasi. Hanya, ada celah yang dapat membahayakan dokter. Berikut catatan dari diskusi yang diselenggarakan di Graha Pena Jumat lalu (16/11).
---------
Transplantasi organ tubuh bisa dilakukan dengan dua cara. Mengambil organ dari tubuh manusia yang masih hidup dan dari tubuh yang sudah mati. Hanya, definisi mati secara medis dan hukum positif berbeda.
Anggota tim transplantasi Rumah Sakit dr Soetomo dr Tommy Sunartomo SpAn menjelaskan, definisi meninggal dari sisi medis dan hukum positif berbeda. Seseorang dinyatakan meninggal secara medis belum tentu sama jika dilihat secara hukum.
Menurut dia, secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. "Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap," tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan.
Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan. Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. "Waktunya tidak lama, sekitar 30 menit. Tapi, kalau menggunakan mesin respirator, bisa bertahan sampai beberapa hari," tutur Tommy.
Sementara, menurut hukum positif di Indonesia, kematian seseorang dilihat dari detak jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati. Hal tersebut mengacu pada penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Definisi mati, menurut KUHP, sangat tidak sejalan dengan kebutuhan transplantasi. Menurut Prof Dr dr Diany Yogiantoro SpM(K), ahli transplantasi kornea, ketika jantung berhenti berdenyut, seluruh organ tubuh telah mati. Karena itulah, organ tubuhnya tidak bisa ditransplantasikan ke orang lain. "Kala itu, tubuh telah menjadi bangkai. Kecuali kornea mata," jelasnya.
Perbedaan itulah, menurut ahli liver RSU dr Soetomo dr Poernomo Boedi SpPD, yang membahayakan dokter. Dokter bisa dituntut secara hukum karena dianggap melukai atau bahkan membunuh seseorang. Yaitu, ketika dokter mengambil organ tubuh dari tubuh seseorang yang telah dinyatakan mati secara medis, tapi secara hukum, dia belum dianggap mati karena jantungnya masih berfungsi.
Karena itu, transplantasi yang diambilkan dari orang yang dinyatakan mati secara medis (batang otak tak berfungsi) potensial dipersoalkan. Dokter bisa disalahkan dan dijerat hukuman. "Ini akan menjadi mainan bagi pengacara-pengacara," katanya.
Akhirnya, para dokter tidak bisa leluasa dan takut melakukan transplantasi organ tubuh. Sebab, bisa jadi keluarga si mayat tidak terima jika organ pada jasad saudaranya diambil. Ini bisa terjadi kendati sebelumnya pemilik telah merelakan organ tubuhnya didonorkan. "Kasus ini banyak terjadi di Indonesia," kata Boedi.
Karena itulah, lanjut Boedi, dokter membutuhkan regulasi yang mendukung dan memayungi terobosan-terobosan ilmu kedokteran, seperti transplantasi. Menurut dia, peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman seharusnya bisa diubah sehingga tidak membatasi gerak ilmu pengetahuan.
Sementara itu, konsep mati menurut Islam mirip dan bahkan sama dengan konsep mati secara medis. Saad Ibrahim, koordinator Bidang Tajdid dan Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, mengatakan bahwa dalam Islam, dikenal hukuman mati. "Pada masa Islam klasik, disebut dengan pancung," terangnya.
Tekniknya, memenggal kepala si terhukum hingga kepalanya terputus. Ketika kepala terpenggal, otomatis dia dinyatakan mati. Untuk menyatakan mati tidaknya si terhukum, pemenggal kepala tidak melihat apakah jantungnya masih berdetak atau tidak. "Karena parameter mati tidaknya adalah kepala, maka sama dengan mati konsep medis, yaitu matinya batang otak," katanya.
Ulama Mesir Halalkan Transplantasi
Organ Tubuh
Kairo, 14 Desember 2002 04:22
Para dokter di Mesir kini tak ragu lagi melakukan pemindahan organ tubuh manusia setelah para ulama menghalalkan proses tranplantasi tubuh manusia. Sekumpulan dokter spesialis pencangkokan Mesir dijadwalkan pada Maret 2003 untuk pertama kali melakukan transplantasi liver guna menanggulangi penyakit liver yang kian meningkat di negeri ini, demikian keterangan Kementerian Kesehatan Mesir yang disiarkan, Jumat.
Sekjen RS Mesir, Prof Dr Abdul Hamid Abaza, dalam simposium tentang tranplantasi di Kairo pada hari Kamis (12/12) mengemukakan, program tranplantasi di rumah sakit tertentu akan mendapat pengawasan langsung secara ketat oleh kementerian kesehatan setempat.
Menurut Prof Abaza, praktek pencangkokan liver ini adalah murni dilakukan oleh dokter spesialis Mesir, tanpa bantuan dari dokter negara asing.
Pakar transplantasi asal Mesir, Prof Dr Sami Rashwan yang kini menjadi kepala unit tranplantasi pada RS Oklahoma, Amerika Serikat, mendukung program pencakokan liver itu.
Sebelumnya, terjadi polemik antara para ulama Mesir menyangkut halal-haramnya pencangkokan organ tubuh manusia. Polemik itu berhenti setelah, Dewan Riset Hukum Al-Azhar dan Darul Ifta (Lembaga Fatwa Nasional) Mesir mengelurkan fatwa menghalalkan tranplantasi tersebut.
Atas dukungan ulama, negara-negara Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Indonesia, dan Iran telah secara terbuka memaklumkan penghalalan transplantasi organ tubuh manusia dimaksud.
Kairo, 14 Desember 2002 04:22
Para dokter di Mesir kini tak ragu lagi melakukan pemindahan organ tubuh manusia setelah para ulama menghalalkan proses tranplantasi tubuh manusia. Sekumpulan dokter spesialis pencangkokan Mesir dijadwalkan pada Maret 2003 untuk pertama kali melakukan transplantasi liver guna menanggulangi penyakit liver yang kian meningkat di negeri ini, demikian keterangan Kementerian Kesehatan Mesir yang disiarkan, Jumat.
Sekjen RS Mesir, Prof Dr Abdul Hamid Abaza, dalam simposium tentang tranplantasi di Kairo pada hari Kamis (12/12) mengemukakan, program tranplantasi di rumah sakit tertentu akan mendapat pengawasan langsung secara ketat oleh kementerian kesehatan setempat.
Menurut Prof Abaza, praktek pencangkokan liver ini adalah murni dilakukan oleh dokter spesialis Mesir, tanpa bantuan dari dokter negara asing.
Pakar transplantasi asal Mesir, Prof Dr Sami Rashwan yang kini menjadi kepala unit tranplantasi pada RS Oklahoma, Amerika Serikat, mendukung program pencakokan liver itu.
Sebelumnya, terjadi polemik antara para ulama Mesir menyangkut halal-haramnya pencangkokan organ tubuh manusia. Polemik itu berhenti setelah, Dewan Riset Hukum Al-Azhar dan Darul Ifta (Lembaga Fatwa Nasional) Mesir mengelurkan fatwa menghalalkan tranplantasi tersebut.
Atas dukungan ulama, negara-negara Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Indonesia, dan Iran telah secara terbuka memaklumkan penghalalan transplantasi organ tubuh manusia dimaksud.
http://baim32.multiply.com/journal/item/76/Transplantasi?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar