Senin, 30 April 2012

Transplantasi organ


Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
Penggunaan organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu, menurutnya, dalam keadaan darurat organ tubuh mayat boleh dimanfaatkan untuk pengobatan. Akan tetapi, pemanfaatan organ tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
- Pengobatan tidak bisa dilakukan, kecuali dengan organ tubuh mayat manusia; - Manusia yang diobati itu adalah orang yang haram darahnya (seorang muslim yang memelihara kehormatannya); apabila jiwa yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seseorang yang telah melakukan pembunuhan dan akan dikenakan hukuman kisas, atau seseorang yang akan dikenai hukuman rajam karena berbuat zina), maka pemanfaatan organ tubuh mayat tidak dibolehkan baginya; - Penggunaan organ tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat; dan penggunaan organ tubuh mayat manusia itu mendapatkan izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat). 
Kalangan ulama mazhab juga sependapat untuk tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manu­sia yang dalam keadaan koma atau hampir meninggal (tipe kedua). Sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut sangat kecil, ia harus dihormati sebagai ma­nusia sempurna. Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena kaidah fikih menyatakan: “suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat lainnya.” Pernyataan senada juga muncul dari Ibnu Qudamah, tokoh fikih Mazhab Hanbali, dan Imam an-Nawawi, tokoh fikih Mazhab Syafi’i. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobat­an dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, se­perti orang yang dikisas, dirajam karena berbuat zina, atau murtad. Jumhur ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut telah dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan, walaupun dalam keadaan darurat. Sebaliknya, ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang lain, dengan syarat bahwa pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia wafat.
Dalam kaitan dengan ini, menurut Abu Hasan Ali asy-Syazili, tidak ada salahnya apabila dokter melakukan pemeriksaan organ tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga pengambilan organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut harus diawasi oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter spesialis. 
Memperjualbelikan dan Menyumbangkan Organ Tubuh.
Persoalan lain yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh kepada orang yang memerlukannya. Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para ulama fikih yang tidak membolehkan sese­orang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 tersebut di atas. Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila’i (w. 762 H/1360 M), tokoh fikih Mazhab Hanafi dalam kitab fikihnya, Path al-Qadir, menyata­kan bahwa ulama Mazhab Hanafi sepakat menyata­kan bahwa tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia. Pernyataan senada juga muncul dari Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam Badruddin az-Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, ka­rena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjual­belikan manusia diharamkan oleh syarak.
Pendapat senada juga dikemukakan ulama Mazhab az-Zahiri. Menurut mereka, seluruh benda yang haram dimakan, haram pula diperjualbelikan. Pembahasan tentang menyumbangkan organ tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan orang lain dimulai oleh para ulama fikih berdasarkan dua kaidah populer: (1) setiap yang boleh diperjualbeli­kan, boleh disumbangkan; dan (2) orang yang tidak memiliki hak untuk bertindak hukum pada suatu benda, tidak boleh memberi izin (memanfaatkan ben­da itu) kepada orang lain. Kaidah pertama menunjukkan bahwa setiap benda yang boleh diperjualbeli­kan boleh pula disumbangkan. Dalam pembahasan di atas, seluruh ulama fikih menyatakan bahwa organ tubuh manusia tidak boleh diperjualbelikan. Berdasarkan kaidah kedua, menurut para ulama fikih, seseorang tidak memiliki hak bertindak hukum.  
Sebuah berita mengejutkan muncul pada 5 Maret 2006 lalu. Koran mingguan milik group media Chang Chun Daily “Cinema TV Library” dengan berani menurunkan artikel berjudul “China menjadi pusat transplantasi dunia”. Artikel yang ditulis oleh Zhan Yan Hui ini mencantumkan sub-judul “Puluhan ribu pasien luar negeri menyerbu China untuk melakukan cangkok organ, yang sumbernya kebanyakan dari terpidana mati”.

Disebutkan, saat ini Orient Organ Transplant Center di kota Tianjin, China merupakan pusat transplantasi organ tubuh manusia yang terbesar di dunia. Kepala pengelola rumah sakit Lilian kepada wartawan mengatakan bahwa sejak tahun 2002, rumah sakit tersebut mulai menerima pasien dari Korea dalam jumlah besar, akibatnya prasarana rumah sakit harus dibenahi. Lantai 4 sampai 7 gedung dikhususkan untuk pasien cangkok organ, ditambah lantai 8 gedung operasi radio vascular, masih ditambah lantai 24-25 hotel-hotel di sekitar rumah sakit dipinjam sebagai ruang penampung. Itu pun masih tetap kekurangan kamar, sehingga pihak rumah sakit memutuskan untuk menambah 500 kamar, yang akan siap pakai dalam bulan Mei 2006 ini.

Jika saja sebuah rumah sakit dapat menampung sekian banyak pasien dari seluruh dunia, berapakah daya tampung pasien cangkok yang sesungguhnya di China? Sebuah harian Korea memberitakan, hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Study transplantasi Korea Utara melaporkan, tahun 1999 pasien asal Korea yang melakukan pencangkokan organ ke China berjumlah 2 orang, tahun 2000 hanya 1 orang, dan tahun 2001 meningkat sebanyak 4 orang.
Sejak 2002, jumlah pasien meningkat drastis. Berdasarkan keterangan pengurus sebuah pusat transplantasi di Beijing, jumlah pasien asal korea yang datang ke rumah sakit di Tianjin, Beijing, Shanghai, dan Hangzhou setiap bulannya mencapai 70-80 orang. Jika itu termasuk rumah sakit berskala menengah dan kecil, jumlah tersebut mencapai 1000 orang dalam setahun! Jumlah itu belum termasuk yang berasal dari Jepang, India, Malaysia, Indonesia, Saudi Arabia, Pakistan, Mesir, Amerika, Canada Hong Kong, Macao, Taiwan dan sekitar 20 negara lainnya. Dari data tersebut, tidak diragukan lagi bahwa China kini memang menjadi negara pusat penjual organ manusia terbesar di dunia sejak 2002.


Tingginya Tingkat Operasi Bukti “Stock Organâ€
 Berlimpah

Diungkapkan juga hingga 2004, Orient Organ Transplant Center telah menyelesaikan sebanyak 1.500 kasus transplantasi, di antaranya 800 kasus cangkok ginjal. Pada 2004, hanya dalam setahun melakukan 900 kasus cangkok ginjal dan lever. Akhir 2005, kepala pusat Orient Organ Transplant Center Shen Zhong Yang mengakui telah melakukan sebanyak 650 kasus operasi. Lebih mengherankan lagi, hingga 16 Desember 2005, data yang ada menunjukan sebanyak 597 kasus, tetapi hingga 30 Desember 2005, jumlahnya berubah menjadi 650 kasus, yang itu berarti ada penambahan 53 kasus dalam waktu dua minggu.

Data tersebut hanya merupakan jumlah dari sebuah pusat transplantasi di antara sekian banyak pusat sejenis yang tersebar di China. Kita tidak tahu jumlah sebenarnya ada berapa banyak pusat pencangkokan sejenis di seluruh negeri tirai bambu itu.

Untuk mengetahui legalitas dari organ yang diperjual belikan secara besar-besaran itu sebenarnya mudah saja. Tinggal mencocokkan data yang diperoleh dari pengadilan dan departemen perhubungan, tahun dan bulan, berapa banyak dan kapan dilaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati yang sudah dijalani. Jika itu korban kecelakaan lalu lintas juga ada data lengkap nama dan usia, serta bukti persetujuan jual-beli atau donasi organ tubuhnya dari pihak keluarga korban.

Tetapi banyak kesaksian keluarga pasien yang mengatakan, organ manusia bisa didapatkan dalam waktu sangat singkat. Hanya perlu 1 atau 2 hari saja, padahal semua tahu, untuk mendapatkan organ yang cocok dengan tubuh calon penerima tidaklah semudah memilih pakaian jadi. Jika “stockâ€
 tidak benar-benar banyak, tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu sesingkat itu. Kesimpulannya, persedian organ “segar” bukan hanya banyak, tetapi “melimpah”, sepertinya bukan lagi si pasien yang menunggu organ, tetapi sebaliknya, sebenarnya organ-organ itu yang menunggu kedatangan pasien yang hendak operasi transplantasi.

Pasien yang menjalani operasi transplantasi pun sudah tidak mmpertimbangkan efek dari pencangkokan itu. Seorang ahli psychology dari Arizona State University Gary Schwartz dalam penyelidikannya selama lebih dari 20 tahun, mengatakan lebih dari 70 kasus yang ditanganinya menunjukkan adanya efek akibat transplantasi. Yakni sifat orang penerima cangkok akan berubah sesuai karakter si pendonor, bahkan sampai kepada ingatannya. Banyak kasus membuktikan, orang yang berubah sifat dan wataknya setelah menerima cangkok ginjal, lever dan jantung. Pernahkah membayangkan bagaimana jika mendapatkan donor dari seorang pembunuh?


Fakta Sebenarnya Sumber Organ

Amnesti Internasional mengklaim, negara China dalam setahun mengeksekusi 5000 orang atau lebih terpidana mati, yang kebanyakan diambil organ tubuhnya tanpa sepengetahuan keluarga setelah hukuman mati dijalankan, kemudian dijual kepada pasien dengan harga sangat tinggi. Wakil Menteri Kesehatan China Jie Fuhuang mengakui, organ tubuh yang diperjual belikan saat ini, 95% didapatkan dari tubuh terpidana mati. Hal ini merupakan pengakuan resmi pertama kalinya yang keluar dari pemerintah komunis di China, sekaligus menunjukan adanya kolusi antara pengusaha, rumah sakit dan pemerintah sekaligus yang mensahkan perdagangan organ tubuh.
Timbul pertanyaan dalam benak setiap orang, mengapa bisnis jual beli organ di China baru marak beberapa tahun belakangan ini? Jika memang setiap tahun ada 5000 orang dieksekusi mati, mengapa organ “melimpahâ€
 dimulai pada 2002, dan perdagangan organ manusia maraknya juga di tahun 2002? Pertanyaan lainnya adalah, banyak tim medis dari China yang ke luar negeri mempromosikan dan mencari pasien, serta menjamin organ selalu dalam keadaan “segar”. Angka 5000 sudah tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan pasien yang berdatangan dari seluruh dunia, jadi berapa sebenarnya “stock segar” organ yang ada di pasaran?

Seorang wartawan Jepang asal China belum lama ini mengungkapkan, adanya kamp konsentrasi Sujiatun di kota Shenyang, Lioning. Dalam kamp ini dikumpulkan sebanyak 6000 praktisi Falun Gong, mereka disiksa hingga tak berdaya, dan diambil semua organ tubuh dalam keadaan masih hidup sekarat, kemudian mayat langsung dikremasi. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan pihak keluarga korban, tujuannya untuk menghilangkan bukti.
Fakta tersebut dibenarkan oleh World Organization to Investigate the Persecution of Falun Gong (WOIPFG). Disebutkan praktek perdagangan organ tubuh manusia hidup secara illegal tersebut sudah berjalan sejak 2001, puncaknya pada 2002, yang dikoordinir dan mendapat izin langsung dari pemerintahan pusat. Karena kekejamannya, banyak anggota tim medis yang tidak tahan, diantaranya dengan cara mengundurkan diri dan pindah ke negara demokrasi, ada yang menjadi depresi, stress, mimpi buruk bahkan nekad bunuh diri karena perasaan bersalah yang mendalam.
Sudah pasti kepastian angka korban yang organ tubuhnya dijual akan terkuak seiring dengan terungkapnya informasi rahasia yang bakal bermunculan di kemudian hari. Dan ini merupakan bukti kejahatan yang dilakukan oleh Partai Komunis China yang sekaligus menyeret pemerintahan yang dikuasainya menjadi penjahat internasional.
Seluruh dunia mengetahui, presiden China Jiang Zemin telah menindas praktisi Falun Gong sejak 20 Juli 1999, praktisi yang diculik, ditangkap dan dipenjara tanpa diadili, tidak ada yang tahu persis berapa jumlahnya. Seiring berjalannya waktu, dengan kegigihan dan belas kasih yang ditunjukkan oleh praktisi Falun Gong di seluruh dunia, yang menceritakan fakta sebenarnya kepada semua lapisan masyarakat dan pemerintahan, perlahan tapi pasti, simpati telah bermunculan di setiap negara.

Pada 18 Desember 2004, diterbitkan serangkaian editorial “9 Komentar Mengenai Partai Komunisâ€
, dan Januari 2005 ke luar pernyataan dari pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi yang memvonis mati PKC, karena kejahatannya yang sudah tak terampuni. Dihimbau juga kepada rakyat China untuk meninggalkan partai komunis China secepat mungkin, serta ditunjukan aib yang akan menimpa orang-orang yang menaruh harapan pada partai yang telah dikutuk oleh langit itu. Kini, sudah 9 juta anggota PKC telah mengundurkan diri secara massal, melepaska diri dari belenggu kejahatan partai yang haus darah tersebut.

Lepas dari masih banyaknya orang yang tidak percaya akan kebenaran kutukan tersebut, kejadian yang terungkap diatas menunjukan adanya ketakutan yang amat sangat dari petinggi PKC untuk menghilangkan jejak bukti yang dapat dijadikan sebagai dakwaan hukum. Kenyataannya, para tim medis China telah menyebar kemana-mana termasuk ke Indonesia, mencari calon penerima donor organ, setiap calon penerima bisa mendapatkan organ dalam keadaan “SEGARâ€
. Hal itu merupakan bukti kuat dari adanya ketakutan rejim komunis sehingga merasa perlu melenyapkan bukti-bukti dalam waktu singkat sekaligus mendapatkan devisa.

Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.
Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi
alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT.
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kekafiran atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.
Namun sebenarnya yang dimaksud di sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba (ditangkap dengan indra), bukan yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi. Sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat.
Tetapi yang dimaksud dengan hati orang kafir di dalam istilah Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"Lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami "(QS. Al-Hajj: 46)
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) "(QS. Al-A`raf: 179)
Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik itu najis?
Benar bahwa Allah SWT telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran:
"Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis" (QS. At-Taubah: 28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang diperlukan.

Sebuah penawaran radikal baru-baru ini dilontarkan oleh sebuah rumah sakit di New York. Mereka menawarkan alternatif yang baru pertama kali dilakukan yaitu transplantasi uterus atau rahim pada wanita. Meski menuai pro dan kontra dari banyak kalangan, namun eksperimen berani ini dinilai memberikan harapan baru bagi wanita yang mengalami tidak bisa hamil karena tidak memiliki rahim atau mengalami kerusakan.

Seperti lazimnya operasi transplantasi organ tubuh lain, proses pemindahan rahim ini pun dilakukan dengan cara yang sama dengan mengambil organ dari donor yang sudah meninggal. Namun, setelah berhasil mewujudkan keinginan sang penerima rahim untuk melahirkan dan memiliki anak, organ ini akan diangkat kembali pascakelahiran. Ini dilakukan agar sang penerima tidak harus mengonsumsi obat antipenolakan organ seumur hidupnya.

Meski menuai pro dan kontra, namun tindakan ini telah mendapat persetujuan dari pihak etis rumah sakit yang bersangkutan. Meski begitu, direktur rumah sakit tersebut mengingatkan agar kaum wanita agar tidak terjebak operasi ini. Pasalnya, proses ini diperkirakan belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Bukan hanya itu, para ahli juga mengingatkan bahwa langkah ini masih butuh penelitian lebih lanjut.

Meski begitu, sang dokter kepala yang melakukan langkah ini tetap menyatakan optimismenya. ''Saya percaya secara teknis ini merupakan sesuatu yang bisa diwujudkan,'' ujar Dr Giuseppe Del Priore. Sang dokter yang juga seorang spesialis kanker akan memimpin proyek ini beserta Dr Jeanetta Stega, ahli bedah kandungan di rumah sakit New York Downtown.

Optimisme yang sama juga dilontarkan beberapa ilmuwan yang menyatakan langkah ini sebagai upaya untuk membantu wanita agar bisa memiliki anak lewat rahimnya. ''Jika ini menjadi sebuah keinginan menggebu dari wanita yang kehilangan rahimnya, saya pikir ini merupakan sesuatu yang mereka bisa wujudkan meski risikonya benar-benar harus diperhitungkan,'' ungkap Julia Rowland, direktur National Cancer Institute's Office of Cancer Survivorship.

Pasalnya, operasi tranplantasi rahim pertama yang pernah dilakukan di Arab Saudi pada tahun 2000 berakhir dengan pendarahan hebat sang pasien. Seorang wanita menjalani proses ini dengan mengambil rahim dari donor yang masih hidup. Namun, setelah tiga bulan operasi, rahim yang ditransplantasikan ke tubuh wanita itu harus diangkat kembali akibat pendarahan hebat.

Menghadapi kemungkinan seperti ini, dengan yakin Dr Stega menyatakan bahwa risiko ini bisa diminimalisir dengan melakukan lebih banyak pemindahan pembuluh darah dan penggunaan obat antipendarahan untuk mengurangi risiko.

Meski belum disetujui semua pihak, namun beberapa kandidat sudah menyatakan kesediannya menjadi pasien percobaan dalam tranplantasi ini. Mereka adalah wanita yang lahir tanpa memiliki rahim, yang mengalami gangguan saluran indung telur atau endometriosis, dan juga wanita yang kehilangan rahim akibat tumor yang disebut fibroid.

Pada hewan
Namun, beberapa ilmuwan menyatakan bahwa sebelum melakukannya pada manusia, percobaan ini harus dilakukan pada hewan. Seorang ilmuwan asal Universitas Pittsburgh, Stefan Schlatt menyatakan, masih butuh banyak penelitian untuk mewujudkan hal itu. Ini ia ungkap setelah proses transplantasi yang sama yang dilakukan pada monyet gagal dilakukan.

''Semua ini sangat rumit, dan saya pikir ini belum siap dilakukan dalam waktu dekat,'' ujar Dr James Grifo, ahli kesuburan dari Universita New York. Bahkan, meski menyatakan penelitian ini merupakan sebuah langkah menarik sekaligus menjanjikan, namun pimpinan rumah sakit tempat Del Priore bertugaspun mengingatkan bahwa setiap langkah dalam penelitian ini harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh perhitungan karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa pasien.

Selain faktor kesuksesan, hal lain yang juga dipertanyakan para ahli adalah persoalan etis. Sebagian ilmuwan mempertanyakan apakah boleh mengambil rahim seseorang kecuali si donor menyatakan persetujuannya sebelum kematiannya.

''Sebelum diberi hak untuk menggunakan organ reproduksinya, apakah si donor tidak memiliki hak untuk mengontrol hal tersebut,'' kata Arthur Caplan, kepala bioetik di Universitas Pennsylvania. Apalagi, katanya, tranplantasi rahim memiliki makna simbolik yang jauh lebih penting daripada tranplantasi pankreas atau hati.

Sementara, ahli bioetik dari Universitas Wisconsin, R Alta Charo mempertanyakan soal resiko keberhasilan operasi ini. ''Ini merupakan sebuah langkah yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal untuk mendapatkan anak sementara ada alternatif lain seperti adopsi dan ibu pengganti masih bisa dilakukan,'' katanya.

Transplantasi organ biasanya dilakukan untuk menyelamatkan nyawa, namun belakangan hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita. Namun langkah ini bukan tanpa risiko, salah satu yang paling fatal adalah komplikasi pada organ tubuh. Belum lagi pasien harus mengonsumsi obat untuk melemahkan imunitas tubuhnya guna mengurangi risiko penolakan tubuh terhadap organ baru.

Proses operasi
Operasinya sendiri berjalan seperti proses transplantasi organ tubuh lainnya. Untuk memindahkan rahim, tim dokter akan menyayat perut pasien sepanjang enam inci (15,24 cm) mulai dari bawah pusar hingga tulang pubis. Untuk itu, penerima organ harus berada dalam keadaan stabil dengan mengonsumsi obat antipenolak organ minimal tiga bulan sebelum kehamilan direncanakan.

Setelah itu, embrio yang sudah dibekukan akan ditransfer ke dalam rahim baru dengan cara normal yaitu melalui vagina. Untuk mengurangi risiko komplikasi dan kegagaglan kehamilan, setelah proses ini pasien diharapkan tidak melakukan hubungan seksual untuk mengurangi potensi risiko.

Jika kehamilan terjadi, bayi yang lahir harus dikeluarkan lewat bedah caesar untuk menghindari risiko. Satu atau dua tahun setelah kelahiran sang bayi lahir atau jika kehamilan yang diharapkan tidak terjadi, rahim ini akan kembali diangkat untuk meminimalisir risiko pemakaian obat anti penolakan organ pada pasien.

Untuk melakukan langkah ini, Del Priore menyatakan biaya yang diperlukan sekitar 500 ribu dolar AS. Ini termasuk biaya perawatan selama dua minggu di rumah sakit. Namun, ia menyebut bahwa biaya ini bisa dibagi bersama pihak rumah sakit, lembaga yang mendanai penelitian kesuburan, pasien, dan ansuransi.
1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup :
Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk meny­umbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal.
Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya.
Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu.
Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbang­kan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberi­kan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara­nya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)
Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup
Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disum­bangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelang­sungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Allah SWT berfirman pula :
“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)
Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang terse­but dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”
Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan meny­umbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menye­babkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata :
“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.”
Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyum­bangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan– merupakan sub­stansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan –yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya– baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain.
Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyum­bang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedi­kitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”
Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW :
“Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”
Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat li’an :
“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”
2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :
Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat.
Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar mening­galnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuh­nya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiat­kan penyumbangan organ tubuhnya.
Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemili­kannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan seba­gian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak men­cakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya.
Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewaris­kan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memi­liki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse­but. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaat­kan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan­nya. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terha­dapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempun­yai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terha­dap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehor­matan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :
“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !”
Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !”
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membe­dah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbua­tan ini haram dilakukan terhadap mayat.
Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecah­kan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penga­niayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).”
Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriway­atkan dari Shafwan bin ‘Asaal RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda :
“Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan jan­ganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhia­natan, dan membunuh anak-anak !”
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penga­niayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.
Keadaan Darurat
Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah memboleh­kan seseorang yang terpaksa –yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah memboleh­kan orang yang terpaksa –yang telah kehabisan bekal maka­nan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah –seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfir­man :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam kea­daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas­nya.” (QS. Al Baqarah : 173)
Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)
Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat terse­but diterapkan –dengan jalan Qiyas– pada fakta transplan­tasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat pener­apan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasa­ran Qiyas –yaitu transplantasi organ– harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan– baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerap­kan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan peranta­raan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat keumumannya atau kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini be­rarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masa­lah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplanta­si). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan hara­pan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (trans­plantasi) –yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidu­pan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang pene­rima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raa­jih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang –yakni transplantasi organ– telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan –seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** — kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.
——-*dzimmi adalah orang kafir warga negara Khilafah Islamiyah.**mu’ahid adalah seseorang warga negara tertentu yang mem­punyai perjanjian dengan Khilafah.***musta’min adalah orang yang mendapat jaminan keamanan dari Khilafah.
Jawaban dikutip dari :
Abdul Qadim Zallum
Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut
Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon, Cetakan I, 1418/1997, 48 hal.
Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.
Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Manusia hidup dalam habitat yang penuh persaingan maupun simbiosis, baik dengan
makhluk hidup berderajat tinggi lainnya, maupun dengan makhluk hidup sederhana.
Berbagai jenis jamur misalnya, diketahui memiliki khasiat medis yang
menguntungkan manusia.

Jamur, sejak berabad-abad dikenal memiliki fungsi beragam. Dewasa ini, dikenal
lebih dari 100 ribu jenis jamur, dari yang bisa dimakan dan berharga mahal,
yang menimbulkan penyakit, yang memiliki racun mematikan sampai yang berfungsi
menguraikan sisa organisme lain. Sejak 30 tahun lalu, para pakar kedokteran
juga berhasil menemukan sejenis jamur, yang membantu mereka dalam pencangkokan
organ tubuh.

Seperti diketahui, tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menyerang benda asing
yang masuk ke dalam tubuh. Organ baru yang dicangkokan dikenali tubuh tergolong
benda asing, yang logikanya harus dimusnahkan. Sistem kekebalan tubuh dengan
cepat menyerang organ cangkokan. Dalam dunia kedokteran, mekanisme ini disebut
reaksi penolakan. Untuk mengurangi reaksi penolakan, para dokter biasanya
memberikan obat yang menekan aktivitas sistem kekebalan tubuh. Tentu saja
terdapat dampak negatif yang menyertainya, sebab dengan obat penekan sistem
kekebalan, tubuh yang masih lemah akibat operasi, seolah-olah dipasrahkan
begitu saja kepada bibit penyakit.

Dilema sistem imunitas

Para dokter ahli bedah, memang menghadapi pilihan sulit. Jika mekanisme
pertahanan tubuh dibiarkan aktif, akan terjadi reaksi penolakan yang dapat
berakibat kematian. Namun jika sistem kekebalan ditekan, berbagai bibit
penyakit akan menyerang. Sejak 30 tahun lalu, sejenis jamur yang berasal dari
Norwegia yang digunakan menekan kekebalan tubuh, sehingga mengurangi reaksi
penolakan terhadap organ cangkokan. Unsur aktif dari jamur yang mampu menekan
aktivitas sistem kekebalan tubuh itu, diberi nama dagang Ciclosporin. Harus
diakui, penemuan Ciclosporin merupakan revolusi dalam kedokteran cangkok organ
tubuh. Tanpa penemuan Ciclosporin, mungkin keberhasilan cangkok organ tidak
setinggi sekarang.

Memang ketika kedokteran cangkok organ tubuh mulai berkembang di tahun 60-an,
sudah digunakan berbagai obat sintetis untuk menekan reaksi penolakan. Yang
umum digunakan misalnya Azathioprin, yang memiliki dampak sampingan menekan
produksi sum-sum tulang belakang dan peracunan hati. Sering juga dipakai
Corticosteroid, yang memiliki dampak sampingan amat kompleks, diantaranya
keruhnya lensa mata atau katarak, kerapuhan tulang dan kematian jaringan otot.
Ciclosporin juga memiliki dampak negatif, namun lebih mudah diawasi oleh para
dokter. Karenanya, dalam dua dekade terakhir ini, Ciclosporin merupakan
komponen obat yang paling penting dalam cangkok organ tubuh.

Agar pasien cangkok organ tubuh tidak diserang bibit penyakit, para dokter
biasanya memberikan obat antibiotika secara terarah. Namun, seperti diakui oleh
Prof. Dr.Jan Schmidt kepala bagian cangkok ginjal dan pankreas di pusat cangkok
organ tubuh di rumah sakit Heidelberg, antara 20 sampai 30 persen pasiennya
pada tahun pertama setelah operasi, tetap saja terkena infeksi bahkan sebagian
infeksi berat. Dalam kasus infeksi berat, tidak jarang terjadi kematian.
Artinya, harus dicari komponen atau unsur aktiv baru, untuk menekan sistem
kekebalan tubuh. Ciclosporin memang masih ampuh. Namun, jumlah pasien cangkok
organ tubuh, dari tahun ke tahun terus meningkat. Dengan itu, diperlukan obat
penekan kekebalan tubuh baru yang jauh lebih aman.

Unsur serangga sekaligus tanaman

Tahun 90-an lalu, para peneliti dari Universitas Tokyo di Jepang, tertarik pada
laporan pengobatan tradisional Cina, yang menggunakan apa yang disebut unsur
"serangga di musim dingin-tanaman di musim panas". Sejak ribuan tahun, unsur
misterius yang juga disebut cacing yang bukan cacing-tanaman bukan tanaman itu,
diyakini manjur sebagai obat awet muda. Ternyata yang disebut unsur serangga di
musim dingin-tanaman di musim panas itu, adalah sejenis jamur yang biasanya
menyerang sejenis lebah. Di musim dingin, jamur menyerang dari dalam tubuh
hingga datangnya musim panas, ketika lebah inangnya mati dan tinggal jamurnya.

Jamur bersangkutan, bernama latin Isaria sinclairii dan mengandung unsur aktiv
Myriocin. Penelitian para pakar di Tokyo menunjukan, Myriocin memiliki fungsi
menekan kekebalan tubuh sepuluh kali lebih kuat dari Ciclosporin. Hanya saja,
seperti unsur aktif lainnya, kandungan Myriocin pada jamur tsb sangat kecil dan
langka. Dewasa ini, para peneliti sudah berhasil membuat Myriocin secara
sintetis, yang untuk sementara diberi nama unsur aktiv FTY-720. Yang juga
menarik, Myriocin memiliki mekanisme berbeda dengan Ciclosporin.

Sejauh ini diketahui, Ciclosporin menekan sistem kekebalan tubuh, dengan cara
mencegah perkembang biakan sel darah putih atau bahkan membunuhnya. Dengan
demikian, tubuh pasien penerima organ tubuh, ibaratnya tidak memiliki lagi
sistem pertahanan tubuh. Myriocin bekerja dengan cara lain. Unsur aktiv ini
tidak mencegah pembiakan atau membunuh sel darah putih, tetapi hanya
menyanderanya. Dalam arti, menahan sistem kekebalan tubuh, agar hanya berkumpul
di kelenjar getah bening dan tidak menyebar. Akan tetapi sel darah putih tetap
bisa berkembang biak dan aktiv. Jadi setiap saat tetap siap menghadapi bibit
penyakit.

Mekanisme berbeda

Pengamatan lebih lanjut oleh tim peneliti Universitas Z?dari pemenang
hadiah Nobel, Prof. Rolf Zinkernagel menunjukkan, tikus-tikus percobaan yang
mendapat Myriocin turun aktivitas pertahanan tubuhnya hingga 80 persen. Namun
juga diamati, sedikit sel-sel pertahanan tubuh yang masih tersisa dalam darah
tetap aktiv. Dengan begitu, tikus-tikus percobaan, masih tetap memiliki reaksi
pertahanan tubuh terhadap berbagai jenis virus. Jadi, unsur aktiv baru Myriocin
tidak mematikan sistem kekebalan tubuh, melainkan mengendalikannya.

Dalam berbagai percobaan, baik pada tikus, anjing dan monyet yang mendapat
cangkok organ tubuh, Myriocin terbukti mencegah reaksi penolakan. Juga
percobaan pada beberapa orang yang menjadi relawan, menunjukan keampuhan unsur
aktiv Myriocin. Unsur ini dapat diterima tubuh dan tidak beracun, baik pada
jaringan tubuh maupun pada organ cangkokan. Jika digabung dengan pemberian
Ciclosporin dalam dosis rendah, khasiatnya menjadi lebih kentara. Dr.Schmidt
dari Heidelberg Jerman melaporkan pengamatannya, mengenai lebih sedikitnya
dampak sampingan Myriocin. Dewasa ini, beberapa industri farmasi terkemuka
terus melakukan penelitian, agar unsur aktiv Myriocin dapat dijadikan obat
standar. Kita memang tidak mau dicangkok organ tubuh. Tapi jika hal itu tidak
mungkin dihindari, tentu saja kita mengharapkan cangkok organ yang aman.

Ketika Para Dokter dan Ahli Agama Berdiskusi tentang Transplantasi Organ (3-Habis)
Perlu Payung hukum untuk Lindungi Para Dokter
Dari sisi skill, dokter Indonesia mestinya mampu melakukan transplantasi. Hanya, ada celah yang dapat membahayakan dokter. Berikut catatan dari diskusi yang diselenggarakan di Graha Pena Jumat lalu (16/11).
---------

Transplantasi organ tubuh bisa dilakukan dengan dua cara. Mengambil organ dari tubuh manusia yang masih hidup dan dari tubuh yang sudah mati. Hanya, definisi mati secara medis dan hukum positif berbeda.

Anggota tim transplantasi Rumah Sakit dr Soetomo dr Tommy Sunartomo SpAn menjelaskan, definisi meninggal dari sisi medis dan hukum positif berbeda. Seseorang dinyatakan meninggal secara medis belum tentu sama jika dilihat secara hukum.

Menurut dia, secara medis seseorang dikatakan mati ketika batang otak tidak berfungsi. Saat itu, bagian tubuh yang lain, khususnya jantung, bisa jadi masih berdenyut. "Namun, lambat laun akan ikut mati secara bertahap," tuturnya. Nah, sebelum semua organ itu mati, proses transplantasi bisa dilakukan.

Pada saat itulah, dokter berkesempatan untuk mengambil organ tubuh yang akan didonorkan. Sebab, organ masih bisa disambungkan ke bagian tubuh penerima donor. "Waktunya tidak lama, sekitar 30 menit. Tapi, kalau menggunakan mesin respirator, bisa bertahan sampai beberapa hari," tutur Tommy.

Sementara, menurut hukum positif di Indonesia, kematian seseorang dilihat dari detak jantungnya. Ketika jantung berhenti berdenyut, seseorang dinyatakan telah mati. Hal tersebut mengacu pada penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Definisi mati, menurut KUHP, sangat tidak sejalan dengan kebutuhan transplantasi. Menurut Prof Dr dr Diany Yogiantoro SpM(K), ahli transplantasi kornea, ketika jantung berhenti berdenyut, seluruh organ tubuh telah mati. Karena itulah, organ tubuhnya tidak bisa ditransplantasikan ke orang lain. "Kala itu, tubuh telah menjadi bangkai. Kecuali kornea mata," jelasnya.

Perbedaan itulah, menurut ahli liver RSU dr Soetomo dr Poernomo Boedi SpPD, yang membahayakan dokter. Dokter bisa dituntut secara hukum karena dianggap melukai atau bahkan membunuh seseorang. Yaitu, ketika dokter mengambil organ tubuh dari tubuh seseorang yang telah dinyatakan mati secara medis, tapi secara hukum, dia belum dianggap mati karena jantungnya masih berfungsi.

Karena itu, transplantasi yang diambilkan dari orang yang dinyatakan mati secara medis (batang otak tak berfungsi) potensial dipersoalkan. Dokter bisa disalahkan dan dijerat hukuman. "Ini akan menjadi mainan bagi pengacara-pengacara," katanya.

Akhirnya, para dokter tidak bisa leluasa dan takut melakukan transplantasi organ tubuh. Sebab, bisa jadi keluarga si mayat tidak terima jika organ pada jasad saudaranya diambil. Ini bisa terjadi kendati sebelumnya pemilik telah merelakan organ tubuhnya didonorkan. "Kasus ini banyak terjadi di Indonesia," kata Boedi.

Karena itulah, lanjut Boedi, dokter membutuhkan regulasi yang mendukung dan memayungi terobosan-terobosan ilmu kedokteran, seperti transplantasi. Menurut dia, peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman seharusnya bisa diubah sehingga tidak membatasi gerak ilmu pengetahuan.

Sementara itu, konsep mati menurut Islam mirip dan bahkan sama dengan konsep mati secara medis. Saad Ibrahim, koordinator Bidang Tajdid dan Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, mengatakan bahwa dalam Islam, dikenal hukuman mati. "Pada masa Islam klasik, disebut dengan pancung," terangnya.

Tekniknya, memenggal kepala si terhukum hingga kepalanya terputus. Ketika kepala terpenggal, otomatis dia dinyatakan mati. Untuk menyatakan mati tidaknya si terhukum, pemenggal kepala tidak melihat apakah jantungnya masih berdetak atau tidak. "Karena parameter mati tidaknya adalah kepala, maka sama dengan mati konsep medis, yaitu matinya batang otak," katanya.
Ulama Mesir Halalkan Transplantasi Organ Tubuh

Kairo, 14 Desember 2002 04:22
Para dokter di Mesir kini tak ragu lagi melakukan pemindahan organ tubuh manusia setelah para ulama menghalalkan proses tranplantasi tubuh manusia. Sekumpulan dokter spesialis pencangkokan Mesir dijadwalkan pada Maret 2003 untuk pertama kali melakukan transplantasi liver guna menanggulangi penyakit liver yang kian meningkat di negeri ini, demikian keterangan Kementerian Kesehatan Mesir yang disiarkan, Jumat.

Sekjen RS Mesir, Prof Dr Abdul Hamid Abaza, dalam simposium tentang tranplantasi di Kairo pada hari Kamis (12/12) mengemukakan, program tranplantasi di rumah sakit tertentu akan mendapat pengawasan langsung secara ketat oleh kementerian kesehatan setempat.

Menurut Prof Abaza, praktek pencangkokan liver ini adalah murni dilakukan oleh dokter spesialis Mesir, tanpa bantuan dari dokter negara asing.

Pakar transplantasi asal Mesir, Prof Dr Sami Rashwan yang kini menjadi kepala unit tranplantasi pada RS Oklahoma, Amerika Serikat, mendukung program pencakokan liver itu.

Sebelumnya, terjadi polemik antara para ulama Mesir menyangkut halal-haramnya pencangkokan organ tubuh manusia. Polemik itu berhenti setelah, Dewan Riset Hukum Al-Azhar dan Darul Ifta (Lembaga Fatwa Nasional) Mesir mengelurkan fatwa menghalalkan tranplantasi tersebut.

Atas dukungan ulama, negara-negara Islam seperti Mesir, Arab Saudi, Indonesia, dan Iran telah secara terbuka memaklumkan penghalalan transplantasi organ tubuh manusia dimaksud.
http://baim32.multiply.com/journal/item/76/Transplantasi?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem